MEMAHAMI
PRINSIP DEMOKRASI MENURUT KONSTITUSI,
DEMOKRASI
MENURUT KONSTITUSI dan BELA NEGARA
(Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
pada Mata Kuliah Konsep Dasar PKn)
Dosen Mata Kuliah : Drs.H.Muh.Arif K,S.Pd,M.Pd
OLEH
NAMA : ASTUTIANI SYAM
NIM :
1347240007
KELAS : 23.A
UPP
PGSD BONE
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2014
A. Pengertian Konstitusi
Secara lughawiyah, makna konstitusi dapat kita tinjau dalam
berbagai bahasa; berasal dari bahasa
Perancis “constituer” berarti membentuk (Pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan suatu negara). Berasal bahasa Inggris “constitution”
bisa diartikan sama dengan UUD atau Grondwet (bahasa Belanda) bisa dalam arti
yang lebih luas, karena meliputi semua peraturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengikat cara-cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan
dalam masyarakat. Berasal bahasa Latin “cume” dan “statuere”. Cume
bararti “bersama dengan…”, sedangkan Statuere berasal dari “sta” (yang
membentuk) dan Stare (berdiri). Berarti Konstitusi diartikan sebagai membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan. Jadi “Constitutio” (bentuk
tunggal) berarti menetapkan seuatu secara bersama -sama. Dan “Constitutiones”
(jamak) berati segala sesuatu yang telah ditetapkan. Konstitusi dalam bahasa
belanda “Grondwet” dan dalam bahasa jerman “Grundgesetz”, yang
berarti Undang-Undang Dasar.
Sedangkan secara terminologis, menurut jilmly Konstitusi
adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim di sebut undang- undang
dasar, dan juga dapat dalam bentuk tidak
tertulis. Konstitusi menurut Chairul Anwar juga mengatakan bahwa konstitusi
adalah pemerintahan suatu negara dan nilai-nilai fundamentalnya. Sedangkan
menurut pendapat Sri Soemantri, konstitusi adalah suatu naskah yang memuat
suatu bangunan negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan negara. Jadi, secara
terminologi, konstitusi adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang
dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar
hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Konstitusi pada hakekatnya lebih luas daripada Undang-Undang
Dasar, karena konstitusi itu sendiri bersifat yuridis, sosiologis dan politis.
Yuridis dalam konstitusi ini adalah suatu naskah yang memuat bangunan negara
dan sendi-sendi pemerintahan. Sedangkan sosiologis dan politis merupakan faktor
kekuatan yang nyata dalam masyarakat yang menggambarkan hubungan antara
kekuasaan dalam suatu negara.
Mengapa konstitusi di suatu negara itu penting? Karena
negara yang menyebut dirinya demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar
mempunyai fungsi yang khas yakni membatasi pemerintah agar penyelenggara
kekuasaan tidak bersifat semena-mena dan hak warga negara akan lebih
terlindungi. Dan juga hakekat konstitusi yang merupakan perwujudan paham
tentang pemerintah dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap
penduduk di pihak lain. Undang-Undang Dasar hanyalah sebagian pengertian dari
konstitusi yakni konstitusi tertulis dan dokumen formal yang berisi :
1. Hasil perjuangan politik bangsa di
masa lalu
2. Tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan
3. Pandangan tokoh yang hendak
diwujudkan
4. Suatu keinginan memimpin
perkembangan kehidupan ketatanegaraan.
B. Pengertian Demokrasi
Menurut asal usulnya "demokrasi" berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas. Demokrasi langsung
(direct democracy) pada negara-kota Yunani Kuno dapat berlangsung efektif
karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas, serta jumlah
penduduk yang sedikit, dan itupun hanya berlaku untuk warga negara resmi,
dimana sebagian besar penduduk merupakan budak yang tidak mempunyai hak membuat
keputusan politik. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung,
tetapi bersifat demokrasi berdasar perwakilan (representative democracy).
C. Nilai, Sifat, dan Tujuan Konstitusi
1. Nilai Konstitusi
Pengertian nilai konstitusi di sini adalah nilai (values)
sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi
dalam kenyataan praktik. Karl Loewenstein dalam bukunya Reflection on the Value
of Constitutions membedakan tiga macam nilai atau the values of the
constitution, yaitu: (1) normative value; (2) nominal value; dan (3) semantical
value. Karl Loewenstein, yang dikutip Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam
setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya
sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktek. Artinya, sebagai hukum
tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai
das solen yang tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya di
lapangan.
Konstitusi dapat dikatakan memiliki nilai normatif, jika
antara norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu
dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat
padanya. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh
materi muatannya, dalam kenyatannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi
atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan
bernegara, konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai
nominal. Sedang konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang
norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang
indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun "gincu-gincu
ketatanegaraan" yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat
pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma, konstitusi itu selalu
dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan
itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang
dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika
di negara yang yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk
menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state's policies)
yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian dalam
praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi
undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja.
2. Sifat Konstitusi
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes
(fleksibel) atau kaku (rigid). Untuk menentukan apakah undang-undang dasar itu
bersifat luwes atau kaku adalah: (1) apakah terhadap naskah konstitusi itu
dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau
sulit, dan (2) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti
perkembangan kebutuhan zaman.
Untuk menentukan apakah suatu naskah konstitusi bersifat
luwes atau tidak, pertama-tama kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya
berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu dilakukan. Pada umumnya,
dalam setiap naskah undang-undang dasar, selalu diatur tata cara perubahan
konstitusi itu sendiri dalam pasal-pasal atau bab yang tersendiri.
Perubahan-perubahan yang dilakukan menurut tata cara yang ditentukan sendiri
oleh undang-undang dasar itu dinamakan verfassungs-anderung. Ketentuan
mengenai perubahan tersebut selalu ditentukan dalam undangundang dasar itu
sendiri, karena walaupun dimaksudkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi teks
suatu undang-undang dasar selalu cenderung untuk dari perkembangan masyarakat.
Pada saat perubahan masyarakat sudah sedemikian rupa, selalu muncul kebutuhan
objektif untuk mengadakan perubahan pula atas teks undang-undang dasar.
3. Tujuan Konstitusi
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa
hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu: (1) keadilan (justice); (2) kepastian
(certainty atau zekerheid); dan (3) kegunaan (utility). Keadilan itu sepadan
dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity), Serta kewajaran
(proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order)
dan ketenteraman. Sementara itu, kegunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua
nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.
Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap
paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga
untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap
tertinggi itu adalah: (a) keadilan; (b) ketertiban; dan (c) perwujudan
nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau
kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para
pendiri negara (the founding fathers and mothers). Misalnya, empat tujuan
bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD
1945. Keempat tujuan itu adalah: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia
(berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sehubungan dengan itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan
konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional,
atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu:
(1) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman; (2) mempertahankan kekuasaan;
dan (3) mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan- kepentingan umum.
Sementara itu, Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk
menjaga keseimbangan antara: (1) ketertiban (orde); (2) kekuasaan (gezag); dan
(3) kebebasan (vrijheid). Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi
kekuasaan negara juga harus berdiri tegak sehingga tercipta tertib
bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri terwujud apabila
dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap
tidak terganggu. Sementara itu, G.S. Diponolo merumuskan tujuan konstitusi ke
dalam lima kategori, yaitu: (i) kekuasaan, (ii) perdamaian, keamanan, dan
ketertiban, (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, Berta (v) kesejahteraan dan
kebahagiaan.
D. Konsep Negara Hukum dan Demokrasi
Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa demokrasi dapat
diartikan sebagai kekuasaan Negara itu dianggap bersumber dan berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan
kekuasaan dalam suatu Negara. Dizaman modern ini demokasi secara luas dianggap
sebagai konsep yang diidealkan oleh semua Negara di dunia. Meskipun dalam
praktik penerapannya, tergantung kepada penafsiran masing-masing Negara dan
para penguasa di Negara-negara yang menyebut dirinya demokrasi.
Demokrasi mempunyai kelemahan yaitu pada demokrasi terlalu
mengandalkan diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man
one vote” dimana pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling
menentukan keputusan. Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan
kebenaran dan keadilan.
Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses
pengambilan keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan
prinsip keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law. Prinsip inilah yang
dinamakan prinsip Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip
supremasi hukum (supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hokum. Menurut
Bagir Manan dalam bukunya Teori dan
politik Konstitusi, untuk melaksanakan prinsip Negara berdasarkan hukum harus
memenuhi syarat tegaknya tatanan kerakyatan atau demokrasi, karena Negara
berdasarkan atas hukum tidak mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan
kediktatoran, merendahkan hukum dan melecehkan hukum merupakan bawaan
kediktatoran, tidak ada paham kediktatoran yang menghormati hukum, yang ada
dalam kediktatoran adalah kesewenang-wenangan, kalaupun ada hukum semata-mata
dilakukan untuk mempertahankan kepentingan rezim kediktatoran tersebut. Dalam
hal tersebut rakyat semata-mata menjadi objek hukum dan bukan subjek hukum,
karena itu setiap upaya untuk mewujudkan tatanan Negara berdasarkan hukum tanpa
diikuti dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau demokrasi akan sia-sia.
Adapula apabila demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi
yang berlebihan yaitu mengembangkan kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian
sehingga Negara tersebut kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah
demokrasi yang diidealkan. Demokrasi yang yang ideal itu demokrasi yang teratur
berdasarkan hukum. karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum
(nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, baru suatu Negara itu
dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum. demokrasi
dan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas demokrasi
suatu Negara akan menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu pula
sebaliknya.
E. Konstitusi Sebagai Bentuk Perwujudan
Negara Hukum dan Demokrasi
Berbicara tentang konstitusi tidak dapat dilepaskan dari
konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah suatu paham mengenai pembatasan
kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Menurut Carl J
Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan
suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa
kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh
mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.
Yang menjadi dasar dari konstitusionalisme adalah
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan Negara. Organisasi Negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat
dilindungi atau di promosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang
disebut Negara. Konsensus tersebut yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di
zaman modern pada umumnya, dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan
(consensus), yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau
cita-cita bersama
2. Kesepakatan tentang the rule of the
law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara
3. Kesepakatan tentang bentuk-bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan
Kesepakatan yang pertama berkenaan dengan cita-cita bersama
adalah puncak abstraksi paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan diantara sesama warga
masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah pluralism atau
kemajemukan. Oleh karena itu suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam
kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau
cita-cita bersama. Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis
pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi, kesepakatan kedua ini
juga sangat prinsipil, karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan bersama
bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara
haruslah didasarkan atas the rules of the game yang ditentukan bersama. Kesepakatan
yang ketiga adalah berkenaan dengan bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur
yang mengatur kekuasaannya,hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama
lain, serta hubungan antara organ Negara dengan warga Negara.
Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan didalam
konstitusi. Kesepakatan itu menjadi pegangan hidup dalam bernegara sehingga
ditempatkan di posisi yang tinggi. Karena ditempatkan diposisi yang tinggi maka
konstitusi dijadikan sebagai supremacy of law. Supremacy of law merupakan salah
satu unsure didalam Negara hukum. Konstitusi sebagai dasar hukum yang tertinggi
dibentuk atas dasar kesepakatan rakyat sehingga konstitusi haruslah mempunyai
nilai-nilai demokrasi. Oleh karena suatu konstitusi yang baik harus menjamin
kedaulatan hukum yang mengedepankan demokrasi.
Didalam undang-undang dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara
Indonesia merupakan Negara demokrasi yang mempunyai kedaulatan ditangan rakyat
sekaligus sebagai Negara dengan kedaulatan hukum. Hal ini ditegaskan didalam
pasal 1 ayat (2) yang menyatakan :
“Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”
Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut
kedaulatan rakyat atau demokrasi berdasarkan undang-undang dasar atau
“constitutional democracy”. Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan :
“Negara
Indonesia adalah Negara hukum”
Inilah yang dimaksud dengan paham kedaulatan hukum yang pada
pokoknya menganut prinsip supremasi hukum.
F. Demokrasi Kostitusi
Definisi dari konstitusi demokrasi adalah
konstitusi yang mengandung prinsip dasar demokrasi. Dalam negara demokrasi,
konstitusi demokrasi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi
sehingga melahirkan pemerintahan yang demokratis pula.
Demokrasi konstitusi dibangun
berdasarkan pada gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah
yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang
terhadap warga negaranya. Rumusan Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris,
dengan dalil yang termashurnya ”Power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely”. Untuk itu sebagai suatu program dan sistim politik
yang konkrit pembatasan kekuasaan negara diselenggarakan dengan suatu
konstitusi tertulis. Kekuasaan harus dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan
penyalahgunaan diperkecil, caranya dengan menyerahkan kekuasaan kepada beberapa
orang atau badan. Prinsipnya, semakin kecil keterlibatan negara semakin baik.
Keterlibatan negara hanya dibenarkan untuk campur tangan dalam kehidupan
rakyatnya dalam batas-batas yang sangat terbatas. Peran negara hanya dapat
dilihat manfaatnya sebagai Penjaga Malam (Nachtwachtersstaat). Dalam dinamika
perkembangan demokrasi telah menggeser pandangan keterlibatan negara yang
terbatas pada pengurusan kepentingan bersama, negara juga bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyat, dan negara harus aktif berusaha untuk menaikkan kehidupan
warganya. Dari konsep peran sebagai Nachtwachtersstaat bergeser ke Welfare
State atau Social Service State. Kemudian berkembang lagi konsep peran negara
tidak saja terbatas pada demokrasi politik, namun berkembang pada konsep peran
negara dalam demokrasi ekonomi.
Prinsip- prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara
adalah sebagai berikut :
1. Menempatkan warga negara sebagai
sumber utama kedaulatan
2. Mayoritas berkuasa dan terjamin hak
minoritas
3. Pembatasan pemerintahan
4. Pembatasan dan pemisahan kekuasaan
negara
5. Pemisahan wewenang kekuasaan
berdasarkan Trias Politica
6. Kontrol dan keseimbangan lembaga pemerintahan
7. Proses hukum
8. Adanya pemilu sebagai mekanisme
peralihan kekuasaan
G. Pengertian
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN)
Pembelaan negara atau bela negara
adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu
dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran
hidup berbangsa dan bernegara.
Bagi
warga negara Indonesia, usaha pembelaan negara dilandasi oleh kecintaan pada
tanah air (wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia
dengan keyakinan pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD
1945 sebagai konstitusi negara.
Wujud
dari usaha bela negara adalah kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional
serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
H. Maksud dan
Tujuan PPBN
Usaha
pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warga negara akan hak dan
kewajibannya. Kesadaran demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi
untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Proses
motivasi untuk membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga
memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya. Di samping itu setiap
warga negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap
eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam hal ini ada beberapa dasar
pemikiran yang dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warganegara untuk ikut
serta membela negara Indonesia :
1)
Pengalaman
sejarah perjuangan RI
2)
Kedudukan
wilayah geografis Nusantara yang strategis
3)
Keadaan
penduduk (demografis) yang besar
4)
Kekayaan
sumber daya alam
5)
Perkembangan
dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan
6)
Kemungkinan
timbulnya bencana perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar